Foto: Disparbud Flores Timur |
Cerita
perjalanan hari ini menyinggahi Benteng Lohayong di Kecamatan Solor Timur,
Flores Timur, ketika saya menemani sebuah tim dari Bali yang sedang mengadakan
sebuah penelitian di sini.
Siang
yang terik menyambut kami di sini. Layaknya tamu, kami terlebih dahulu meminta
ijin dan melapor kepada Kepala Desa. Ternyata hari ini hari Jumat, dan umat
Muslim sedang menjalankan puasa. Dan, kami pun menunggu sebentar di sini.
Selepas sholat, pak Kepala Desa Lohayong II menerima kami di rumahnya, dan
disambut dengan baik lalu diarahkan menuju rumah sang juru kunci benteng, Pak
Muhammad Isnaini, pria murah senyum yang menyambut kami di rumahnya, tepat di
seberang masjid yang sedang dibangun.
Masyarakat
Desa Lohayong II memang mayoritas beragama Islam, dan meski Benteng Lohayong
yang merupakan peninggalan bangsa Portugis dalam menandai misi penyebaran agama
Katolik di Flores Timur, masyarakat setempat tetap menjaga eksistensi benteng
ini, sebuah ungkapan toleransi yang patut dibanggakan.
Kami
lalu diantar menuju benteng yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Benteng
Lohayong sendiri punya cerita dan sejarah yang kuat bila dihubungkan dengan
masuk dan berkembangnya ajaran Katolik di Larantuka dan Flores Timur pada
umumnya. Menurut catatan sejarah dari berbagai referensi, tahun 1559 sudah
terdapat 300 orang Kristen di Solor dan Flores, termasuk raja Solor dan
beberapa tokoh ternama lainnya. Maka tahun 1562 biarawan Dominikan dan pedagang
Portugal membangun sebuah benteng di Lohayong-Solor. Namun dalam perjalanannya,
benteng ini mendapat serangan dari berbagai pihak seperti dari umat Muslim dan
pihak Belanda. Ketika direbut oleh Belanda pada tahun 1613, Benteng Lohayong
diubah namanya menjadi Henricus XVII. Benteng Lohayong mulai kehilangan
perannya pada tahun 1653 ketika Belanda berhasil merebut benteng Portugis di
Kupang dan dinamai Concordia. Belanda kemudian lebih memilih Kupang sebagai
basis utamanya, dan Solor tidak mempunyai peran lagi dari segi militer.
Berkembangnya Larantuka sebagai pusat perdagangan waktu itu pun semakin
mengurangi dan melemahkan peran Solor.
Memasuki
kawasan benteng, puing-puing benteng bagian depan masih dapat terlihat meski
sudah ditutupi tanaman yang tumbuh liar. Gapura masuk yang berbentuk kubah pun
sudah dibuat dari semen berwarna abu-abu. Di dalam kompleks benteng utama,
sudah ada beberapa rumah permanen dan sebuah mushola kecil yang dibangun warga.
Dua buah bangunan tradisional bertiang kayu beratapkan alang-alang didirikan
tepat di depan mushola. Tiga buah meriam berukuran sedang tergeletak di sekitar
situ. Kami diajak Pak Isnaini untuk mendaftar terlebih dahulu di dalam salah
satu rumah di situ.
Di
samping rumah tersebut, masih terlihat sisa benteng yang terdiri dari batu-batu
berukuran sedang yang disusun secara rapih, membentang dan membentuk sebuah
wilayah persegi. Tepat di ujung, ada sebuah pohon asam besar yang nampak sudah
sangat tua berdiri dan tumbuh di atas batu-batu sisa benteng tersebut. Pak
Abubakar Langga, seorang warga yang tinggal di sekitar benteng menjelaskan
bahwa tinggi benteng dahulu sama dengan tinggi susunan batu yang berada di
bawah pohon asam tersebut. “Ketika gempa tahun 1981, sebagian besar dinding
benteng ini runtuh,” jelasnya. Bila memang benar demikian, pastinya benteng ini
cukup tinggi. Meski sudah melewati empat abad, susunan batu pada benteng ini
masih nampak kuat antara satu dengan yang lain. Penelitan lebih lanjut mungkin
dapat mengungkapkan bagaimana benteng ini dibangun sekokoh ini, paling tidak
ketika dilihat dari sisa-sisa bangunan yang masih tegak berdiri.
Pak
Abubakar lalu mengajak saya melihat ke sebelah timur. Tempat ini sangat menarik
buat saya. Di sini, sebuah meriam berukuran lebih panjang tertidur di balik
rimbunnya semak, sepertinya meriam ini sedang menyimpan cerita tentang dirinya
sendiri. Terarahkan menuju laut, meriam ini pastinya pernah berjasa menghalau
musuh yang datang dari arah laut. Pak Abubakar mengajak saya berjalan menuju
sebuah tempat yang sangat menarik, yakni dahan pohon beringin yang cukup
tinggi. Benteng ini berada di daerah yang landai, sekitar dua puluh meter dari
permukaan laut, dan dengan kemiringan seperti ini, letak permukaan benteng
sejajar dengan dahan pohon beringin yang tumbuh di bawahnya. Saya berjalan di
atas dahan beringin yang besar ini. Saya tertarik dengan beberapa batu yang
ukuran dan warnanya persis sama dengan batu yang dipakai sebagai benteng ini.
Batu-batu ini sepertinya sengaja diselipkan di antara dahan-dahan beringin ini
sehingga dapat terjepit oleh dahannya ketika bertumbuh. Batu-batu ini kemudian
menutupi lubang-lubang antara dahan sehingga dapat menjadi tempat pijakan
ketika berjalan. “Dari dulu memang seperti ini kah pak?” tanya saya. “Iya,
memang dari dulu sudah seperti ini,” ungkap Pak Abubakar. Mungkin saja, para
prajurit meletakkan batu-batu di atas sini dan memanfaatkan dahan ini sebagai
salah satu pos pemantauannya, pikirku. Namun itu tentu saja harus diteliti dulu
oleh para peneliti.
Beberapa
sudut benteng memang sudah rapuh dan sisanya terlepas dari susunannya,
tergeletak begitu saja di antara semak dan belukar, seolah nyaris hilang
ditelan waktu. Saya sejenak merenung, meski hanya menyisahkan puing dan
bongkahan, benteng ini sesungguhnya telah melewati dan mencatatkan sejarah yang
panjang dan penuh cerita tentang harum cendana, kekuasaan dan tentu saja; iman,
bahwasanya iman Katolik yang hari ini begitu kuat di tanah Lamaholot tidak
terlepas dari bongkahan dan puing-puing ini. Suatu hari nanti, mungkin saja
benteng ini bakal benar-benar terhapus dan hilang, batu-batu ini akan tergerus
banjir dan berpindah, namun dari sebagian sejarah panjangnya, dia telah
meninggalkan satu mutiara yang tak bakal hilang dan hancur; iman itu sendiri.
Saya
dan Pak Abubakar lalu kembali bergabung dan berbagi cerita dengan peneliti
lainnya bersama Pak Isnaini sementara anak-anak begitu antusias melihat drone
yang dioperasikan oleh seorang peneliti untuk melihat gambar dari atas.
Setelah
puas menggali informasi dan mengambil gambar, kami pun pamit pulang. Pak
Isnaini, Abubakar dan anak-anak menghantar kami hingga ke gerbang masuk dengan
lambaian tangan yang lugu dan sederhana.
Sopir
kami, Om Lius Morok dari Lewograran mengantar kami ke Pamakayo dengan sebuah
pick up yang berjalan pelan akibat kondisi jalan yang belum diperbaiki
sempurna. Sore yang tenang dan ombak yang cukup sedikit nakal mengiringi KM
Purin Lewo menghantar kami kembali ke Larantuka.
Tips;
bila Anda hendak berkunjung ke sini, pastikan Anda membawa perlengkapan penutup
kepala dan masker penutup hidung karena cuaca di sini memang cukup panas dan
jalanan yang berdebu. Siapkan perbekalan dan air yang cukup karena di sini
warung makanan memang sulit ditemukan. Untuk menghindari ketiadaan alat
transportasi umum saat Anda tiba di sini, bawalah kendaraan roda dua dari
Larantuka. Terakhir, jangan sungkan untuk meminta bantuan dari warga lokal
karena mereka sangat bersahabat dan sangat rela membantu. (Teks: Berry Waibalun)
Foto: Disparbud Flores Timur |