Info&tanya jawab

Sabtu, 11 Mei 2019

Benteng Lohayong, Tanda Kehadiran Kolonial Sekaligus Penyebaran Agama Katolik


Foto:  Disparbud Flores Timur

Cerita perjalanan hari ini menyinggahi Benteng Lohayong di Kecamatan Solor Timur, Flores Timur, ketika saya menemani sebuah tim dari Bali yang sedang mengadakan sebuah penelitian di sini.
Siang yang terik menyambut kami di sini. Layaknya tamu, kami terlebih dahulu meminta ijin dan melapor kepada Kepala Desa. Ternyata hari ini hari Jumat, dan umat Muslim sedang menjalankan puasa. Dan, kami pun menunggu sebentar di sini. Selepas sholat, pak Kepala Desa Lohayong II menerima kami di rumahnya, dan disambut dengan baik lalu diarahkan menuju rumah sang juru kunci benteng, Pak Muhammad Isnaini, pria murah senyum yang menyambut kami di rumahnya, tepat di seberang masjid yang sedang dibangun.
Masyarakat Desa Lohayong II memang mayoritas beragama Islam, dan meski Benteng Lohayong yang merupakan peninggalan bangsa Portugis dalam menandai misi penyebaran agama Katolik di Flores Timur, masyarakat setempat tetap menjaga eksistensi benteng ini, sebuah ungkapan toleransi yang patut dibanggakan.

Kami lalu diantar menuju benteng yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Benteng Lohayong sendiri punya cerita dan sejarah yang kuat bila dihubungkan dengan masuk dan berkembangnya ajaran Katolik di Larantuka dan Flores Timur pada umumnya. Menurut catatan sejarah dari berbagai referensi, tahun 1559 sudah terdapat 300 orang Kristen di Solor dan Flores, termasuk raja Solor dan beberapa tokoh ternama lainnya. Maka tahun 1562 biarawan Dominikan dan pedagang Portugal membangun sebuah benteng di Lohayong-Solor. Namun dalam perjalanannya, benteng ini mendapat serangan dari berbagai pihak seperti dari umat Muslim dan pihak Belanda. Ketika direbut oleh Belanda pada tahun 1613, Benteng Lohayong diubah namanya menjadi Henricus XVII. Benteng Lohayong mulai kehilangan perannya pada tahun 1653 ketika Belanda berhasil merebut benteng Portugis di Kupang dan dinamai Concordia. Belanda kemudian lebih memilih Kupang sebagai basis utamanya, dan Solor tidak mempunyai peran lagi dari segi militer. Berkembangnya Larantuka sebagai pusat perdagangan waktu itu pun semakin mengurangi dan melemahkan peran Solor.
Memasuki kawasan benteng, puing-puing benteng bagian depan masih dapat terlihat meski sudah ditutupi tanaman yang tumbuh liar. Gapura masuk yang berbentuk kubah pun sudah dibuat dari semen berwarna abu-abu. Di dalam kompleks benteng utama, sudah ada beberapa rumah permanen dan sebuah mushola kecil yang dibangun warga. Dua buah bangunan tradisional bertiang kayu beratapkan alang-alang didirikan tepat di depan mushola. Tiga buah meriam berukuran sedang tergeletak di sekitar situ. Kami diajak Pak Isnaini untuk mendaftar terlebih dahulu di dalam salah satu rumah di situ.
Di samping rumah tersebut, masih terlihat sisa benteng yang terdiri dari batu-batu berukuran sedang yang disusun secara rapih, membentang dan membentuk sebuah wilayah persegi. Tepat di ujung, ada sebuah pohon asam besar yang nampak sudah sangat tua berdiri dan tumbuh di atas batu-batu sisa benteng tersebut. Pak Abubakar Langga, seorang warga yang tinggal di sekitar benteng menjelaskan bahwa tinggi benteng dahulu sama dengan tinggi susunan batu yang berada di bawah pohon asam tersebut. “Ketika gempa tahun 1981, sebagian besar dinding benteng ini runtuh,” jelasnya. Bila memang benar demikian, pastinya benteng ini cukup tinggi. Meski sudah melewati empat abad, susunan batu pada benteng ini masih nampak kuat antara satu dengan yang lain. Penelitan lebih lanjut mungkin dapat mengungkapkan bagaimana benteng ini dibangun sekokoh ini, paling tidak ketika dilihat dari sisa-sisa bangunan yang masih tegak berdiri.
Pak Abubakar lalu mengajak saya melihat ke sebelah timur. Tempat ini sangat menarik buat saya. Di sini, sebuah meriam berukuran lebih panjang tertidur di balik rimbunnya semak, sepertinya meriam ini sedang menyimpan cerita tentang dirinya sendiri. Terarahkan menuju laut, meriam ini pastinya pernah berjasa menghalau musuh yang datang dari arah laut. Pak Abubakar mengajak saya berjalan menuju sebuah tempat yang sangat menarik, yakni dahan pohon beringin yang cukup tinggi. Benteng ini berada di daerah yang landai, sekitar dua puluh meter dari permukaan laut, dan dengan kemiringan seperti ini, letak permukaan benteng sejajar dengan dahan pohon beringin yang tumbuh di bawahnya. Saya berjalan di atas dahan beringin yang besar ini. Saya tertarik dengan beberapa batu yang ukuran dan warnanya persis sama dengan batu yang dipakai sebagai benteng ini. Batu-batu ini sepertinya sengaja diselipkan di antara dahan-dahan beringin ini sehingga dapat terjepit oleh dahannya ketika bertumbuh. Batu-batu ini kemudian menutupi lubang-lubang antara dahan sehingga dapat menjadi tempat pijakan ketika berjalan. “Dari dulu memang seperti ini kah pak?” tanya saya. “Iya, memang dari dulu sudah seperti ini,” ungkap Pak Abubakar. Mungkin saja, para prajurit meletakkan batu-batu di atas sini dan memanfaatkan dahan ini sebagai salah satu pos pemantauannya, pikirku. Namun itu tentu saja harus diteliti dulu oleh para peneliti.
Beberapa sudut benteng memang sudah rapuh dan sisanya terlepas dari susunannya, tergeletak begitu saja di antara semak dan belukar, seolah nyaris hilang ditelan waktu. Saya sejenak merenung, meski hanya menyisahkan puing dan bongkahan, benteng ini sesungguhnya telah melewati dan mencatatkan sejarah yang panjang dan penuh cerita tentang harum cendana, kekuasaan dan tentu saja; iman, bahwasanya iman Katolik yang hari ini begitu kuat di tanah Lamaholot tidak terlepas dari bongkahan dan puing-puing ini. Suatu hari nanti, mungkin saja benteng ini bakal benar-benar terhapus dan hilang, batu-batu ini akan tergerus banjir dan berpindah, namun dari sebagian sejarah panjangnya, dia telah meninggalkan satu mutiara yang tak bakal hilang dan hancur; iman itu sendiri.
Saya dan Pak Abubakar lalu kembali bergabung dan berbagi cerita dengan peneliti lainnya bersama Pak Isnaini sementara anak-anak begitu antusias melihat drone yang dioperasikan oleh seorang peneliti untuk melihat gambar dari atas.
Setelah puas menggali informasi dan mengambil gambar, kami pun pamit pulang. Pak Isnaini, Abubakar dan anak-anak menghantar kami hingga ke gerbang masuk dengan lambaian tangan yang lugu dan sederhana.
Sopir kami, Om Lius Morok dari Lewograran mengantar kami ke Pamakayo dengan sebuah pick up yang berjalan pelan akibat kondisi jalan yang belum diperbaiki sempurna. Sore yang tenang dan ombak yang cukup sedikit nakal mengiringi KM Purin Lewo menghantar kami kembali ke Larantuka.
Tips; bila Anda hendak berkunjung ke sini, pastikan Anda membawa perlengkapan penutup kepala dan masker penutup hidung karena cuaca di sini memang cukup panas dan jalanan yang berdebu. Siapkan perbekalan dan air yang cukup karena di sini warung makanan memang sulit ditemukan. Untuk menghindari ketiadaan alat transportasi umum saat Anda tiba di sini, bawalah kendaraan roda dua dari Larantuka. Terakhir, jangan sungkan untuk meminta bantuan dari warga lokal karena mereka sangat bersahabat dan sangat rela membantu. (Teks: Berry Waibalun)

Foto:  Disparbud Flores Timur



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar